Efek Buruk Panic Buying Saat Wabah Corona jadi Booming

Sejak konfirmasi dari dua kasus positif pertama dari virus korona di Indonesia, beberapa orang telah panic buying atau membeli bahan makanan di tengah-tengah kepanikan. Panic buying juga terjadi di banyak negara yang telah mengkonfirmasi COVID-19 kasus, termasuk Singapura dan Amerika Serikat. Sebenarnya, mengapa orang panic buying? Apa alasan psikologis di balik fenomena ini?

Alasan psikologis di balik panic buying

Berikut adalah beberapa kemungkinan alasan bagi orang untuk panic buying, di tengah-tengah epidemi seperti COVID-19:

1. Terkendali oleh emosi

Menurut Dr. M. Grohol, Psy.D. yang merupakan pendiri dan pemimpin redaksi Psych Central, keinginan untuk panic buying dapat dipengaruhi oleh orang lain karena penularan emosional. Ketika pembeli pertama mengamati perilaku pembeli kedua yang menimbun barang belanjaan, pembeli pertama mungkin dipengaruhi untuk melakukan hal yang sama. Terlebih lagi, di tengah merebaknya infeksi virus korona, kecemasan terkait ketersediaan makanan kerap dirasakan. Ini bisa pindah ke orang lain dan bisa dipercepat oleh media sosial. Padahal, meski kecemasan sebenarnya tidak rasional, keinginan untuk panic buying masih bisa dirasakan. Tindakan membeli panik untuk pergi bersama dengan orang lain mungkin merupakan perwujudan naluri kawanan. Beberapa ahli juga mengaitkan fenomena panic buying dengan naluri menggembala yang menyebar melalui media sosial.

2. Ingin meminimalkan risiko

Banyak peneliti menyimpulkan, alasan psikologis orang untuk panic buying berakar pada keinginan mereka untuk mengurangi risiko. Untuk panic buying, risiko yang menunggu karena krisis mungkin sedikit berkurang karena bahan yang ditimbun masih dapat digunakan di masa depan. Keinginan untuk mengurangi risiko dengan panic buying dapat dirangsang oleh keinginan sendiri, serta upaya untuk menghindari penderitaan yang dapat timbul selama krisis. Penderitaan bisa dalam bentuk penderitaan emosional dan fisik, dan penderitaan yang memang terjadi atau yang masih dalam bayangan. Meskipun panic buying tidak dapat dibenarkan, setiap individu pada dasarnya memiliki toleransi risiko yang berbeda. Bagi sebagian orang, menimbun makanan, termasuk makanan yang kadaluwarsa, mampu menenangkan diri – meskipun itu tidak rasional.

3. Merasakan kelegaan dan ketenangan

Perilaku menimbun bisa menimbulkan rasa tenang pada diri pelakunya. Sensasi bahwa “semuanya terkontrol dengan baik” juga dapat muncul dalam pikiran panic buying, begitu ia membawa belanjaannya ke rumah. Tindakan membeli panik meningkatkan “rasa lega” bagi pelakunya, dan mengikis rasa takut dan kecemasan yang dirasakan.

4. Ketidakpastian yang dihadapi oleh krisis

Sementara itu, menurut Dr. Dimitrios Tsivrikos dari University College London, panic buying dapat terjadi karena kita tidak dapat memprediksi berapa lama krisis kesehatan masyarakat (termasuk COVID-19) akan bertahan. Informasi dari media juga memicu kami untuk masuk ke mode panik. Lain halnya dengan panik karena krisis bencana. Dalam kepanikan jenis ini, orang cenderung tahu bahwa krisis ‘satu-satunya’ akan bertahan beberapa hari. Dengan demikian, kita mungkin lebih rasional dalam membeli produk rumah tangga. Panic buying sebenarnya tidak bisa dibenarkan. Dari alasan kolektif dan kemanusiaan, panic buying perlu dihindari karena banyak orang di sekitar Anda masih membutuhkan bahan-bahan rumah tangga ini. Anda dapat berbelanja secara rasional tanpa harus berlebihan, termasuk mengurangi risiko membuang-buang makanan.

Terimakasih semoga Artikel ini Bermanfaat

Tinggalkan komentar